Gayo, Masa Depan Kopi Dunia
Win Wan Nur*
Dua hari yang lalu penulis membaca
sebuah artikel di Facebook yang di tag kepada penulis. Artikel ini
berisi promosi dari sebuah perusahaan roasting kopi baru yang bernama
‘Ra’jat Gayo’ yang memproduksi biji kopi olahan siap minum, dengan bahan
baku yang berasal langsung dari petani kopi yang mengusahakan kopi di
kebun tertentu tanpa tercampur dengan kopi dari daerah lain.
Entah mereka sadari atau tidak, ‘Ra’jat
Gayo’ sebenarnya sedang melakukan apa yang menjadi trend di kalangan
peminum kopi dunia saat ini
Apa yang dilakukan oleh Ra’jat Gayo ini
adalah apa yang dikenal dalam dunia perkopian sebagai ‘Third
Wave’(Gelombang ketiga) merujuk pada sejarah perkembangan minuman yang
disebut oleh Thomas Jefferson (Presiden kedua Amerika, sekaligus penulis
Declaration of Independence) sebagai ‘The favorite drink of civilezed
world’, “Minuman favorit dunia beradab’ ini.
Gelombang pertama budaya minum kopi
merujuk pada masa ketika minuman kopi menyebar ke seluruh dunia menjadi
konsumsi massal. Saat itu kualitas kopi belum menjadi isu, orang juga
tidak peduli dari negara mana biji kopi itu berasal, pokoknya kopi. Pada
gelombang pertama ini kopi yang paling banyak diproduksi adalah kopi
instant. Puncak dari gelombang pertama ini adalah pasca perang dunia
kedua, dimana Maxwell House dan Nescafe menjadi menjadi pemimpin
terdepan dalam penjualan kopi sebagai minuman. Pada masa ini 80% kopi
yang dikonsumsi manusia adalah kopi instant.
Belakangan, kopi instant telah mendapat
perlawanan sengit dari berbagai minuman instant lain yang membanjiri
pasar. Dan ini tentu saja sangat mengkhawatirkan para produsen kopi.
Untuk merespon tuntutan dan persaingan
pasar dengan produk minuman lain yang semakin ketat ini. Pada akhir
dekade 60-an datanglah ‘Gelombang Kedua’ dalam budaya minum kopi.
Sehingga konsumen kopi yang benar-benar menyukai kopi, menuntut sesuatu
yang lebih dari kopi yang mereka konsumsi. Untuk menjawab tuntutan pasar
ini, produsen kopi mulai memberi perhatian ekstra pada kualitas dan
keunikan karakteristik rasa kopi.
Gelombang kedua (Second Wave) ini
ditandai dengan mulai menyebarnya teknik espresso dan perusahaan seperti
Starbucks dan Behemoth mulai memperkenalkan dan menjual “Specialty
Grade Coffee” dan mereka pun mulai menciptakan rasa-rasa kopi
berdasarkan negara asal kopi tersebut. Maka dikenallah produk seperti
‘Latte Cappucino’ dan ‘Frappe’ yang menggunakan kopi yang berasal dari
Kolombia, Kenya atau Jawa. Kualitas rasa kopi juga meningkat pesat.
Mesin-mesin pembuat kopi yang berharga mahal pun mulai menyebar ke
seluruh penjuru dunia. Dan akhirnya gelombang baru budaya minum kopi pun
menyapu dunia.
Pada sebuah konferensi kopi yang penulis
hadiri di awal abad ini. Almarhum Dr.Ernesto Illy, pemilik produsen
kopi terkemuka ‘Illy Cafe’ asal Italia, mengungkapkan kekhawatirannya
akan serangan dari produk minuman lain. Saat itu menurut Dr. Illy dengan
tegas mengatakan kalau satu-satunya cara bagi kopi untuk memenangkan
pertarungan dengan produk minuman lain adalah dengan memastikan kopi
yang kita tawarkan ke pasar benar-benar berkualitas dan istimewa. Dan
ini secara konsisten dilakukan oleh Illy melalui perusahaannya. Saat itu
Dr.Illy dengan yakin meramalkan bahwa di masa depan, tuntutan konsumen
atas kualitas rasa kopi akan semakin tinggi.
Karena masa depan kopi ada pada kualitas
dan keunikan rasanya. Saat itu Dr.Illy mengajak, para produsen kopi
mulai dari petani sampai roaster untuk bersama-sama bergandeng tangan
untuk memastikan bahwa kopi yang dilepas ke pasar benar-benar hanyalah
kopi yang berkualitas.
Apa yang dikatakan oleh Dr.Ernesto Illy
yang telah almarhum pada tahun 2002, dengan tepat terbukti beberapa
tahun kemudian setelah beliau wafat.
Kecanggihan yang ditawarkan oleh budaya
minum kopi gelombang kedua ini ternyata belum cukup. Respon dari produk
minuman lain atas ‘Coffee- Second Wave’ membuat pasar menuntut sesuatu
yang lebih terhadap kopi yang mereka konsumsi.
Atas dasar tuntutan pasar seperti ini.
Untuk menyelamatkan keberadaan kopi sebagai produk minuman terkemuka,
beberapa roaster mulai melakuan eksperimen dengan mengeksplorasi
berbagai teknik dan cara untuk lebih meningkatkan lagi kualitas rasa
kopi yang dapat disajikan. Dan dunia pun bersiap memasuki peradaban kopi
yang lebih tinggi.
Dipelopori oleh Jepang dan Taiwan muncullah apa disebut dengan ‘Coffee – Third Wave” yang merupakan masa depan kopi dunia.
Cikal bakal ‘Gelombang ketiga’ ini
dimulai ketika para penggemar kopi di Jepang dan Taiwan mencoba
menerapkan ide-de kompleks untuk mempersiapkan dan menyajikan secangkir
kopi. Sebagaimana sebelumnya telah mereka praktekkan dalam ritual minum
teh mereka yang sudah membudaya
Dari Jepang dan Taiwan, ide ini kemudian
menyebar. Ditandai dengan dibukanya berbagai kedai kopi dengan produk
khusus (niche coffee shop) yang mendedikasikan diri untuk menciptakan
ekstrak rasa yang benar-benar berbeda, khas dan istimewa dari setiap
biji kopi yang mereka sajikan sebagai minuman.
Dan perlahan tapi pasti, budaya minum
kopi ‘gelombang ketiga’ ini pun menyebar dan sekarang mulai ‘mewabah’ di
seluruh penjuru dunia. Ciri utama dari budaya minum kopi ‘gelombang
ketiga’ ini adalah cara pengklasifikasian kopi yang menjadi semakin
mirip dengan klasifikasi anggur di Perancis sana. Di mana tiap kebun
penghasil kopi, memiliki keunikan rasa sendiri.
Jonathan Gold, kritikus makanan pemenang hadiah Pulitzer dari LA Weekly, mendefinisikan kebiasaan baru ini sebagai berikut :
“Kita sekarang berada pada gelombang
ketiga dari segi pengetahuan tentang kopi, dimana biji kopi
diklasifikasikan berdasarkan asal kebun, bukan lagi asal negara.
Roasting adalah tentang bagaimana mengeluarkan keunikan karakteristik
setiap biji kopi yang menciptakan ekstraksi efek rasa yang berbeda dari
setiap biji kopi, dan rasa yang tercipta adalah bersih dan keras dan
murni”
Kalau kita amati, ada satu hal yang
sangat menarik bagi masyarakat Gayo mengenai “Coffee- Third Wave” ini.
Yaitu, tidak ada satupun tempat di planet ini yang lebih ideal untuk
mengembangkan kopi gelombang ketiga ini dibandingkan TANOH GAYO.
Kenapa demikian?
Ini terkait dengan karakteristik
perkebunan kopi di Gayo. Dengan luas lahan lebih dari 80 ribu hektar,
yang merupakan lahan kopi Arabika terbesar di Asia. Perkebunan kopi di
Gayo terbagi ke dalam banyak lokasi yang masing-masing memiliki keunikan
iklim, suhu, ketingggian dan karakteristik tanah tersendiri yang
terkadang perbedaannya sangat ekstrim antara satu wilayah dan wilayah
lain.
Kemudian keunikan karakteristik
lingkungan ini disempurnakan pula dengan karakteristik kepemilikan
kebun-kebun kopi di Gayo yang tidak dikelola oleh satu perusahaan besar.
Tiap kebun kopi di Gayo diusahakan oleh para petani kecil dengan
rata-rata luas lahan di bawah 2 hektar. Sehingga keunikan karakteristik
masing-masing kebun benar-benar terjaga. Dan ajaibnya, meskipun
karakteristiknya sangat berbeda, skor kopi Gayo selalu di atas 85.
Segala keunikan ini masih ditambah pula
dengan fakta bahwa Gayo adalah produsen kopi organik nomer tiga terbesar
di dunia. Mengingat semakin meningkatnya kesadaran para peminum kopi
dunia pada konsumsi produk-produk organik. Ini tentu merupakan
keunggulan tak ternilai bagi Kopi Gayo.
Lalu apa arti dari semua fakta ini?…MASA DEPAN KOPI DUNIA ADA DI GAYO…
Karena itulah ‘Coffee – Third Wave’ ini
benar-benar harus direspon oleh Gayo. Sebab ini bisa menjadi solusi
untuk mensejahterakan petani Gayo yang selama ini selalu mengeluhkan
fluktuasi harga kopi yang tidak menentu, sebab lebih dari 95% Kopi Gayo
diekspor sebagai komoditas.
‘Coffee – Third Wave’ adalah sebuah
peluang yang jika tidak diambil oleh orang Gayo sendiri, maka seperti
biasa orang Gayo hanya akan menjadi objek yang hanya bisa menonton
dengan pasrah hiruk pikuk datangnya ‘Coffee – Third Wave’ ini dan
kembali harus pasrah dengan harga kopi yang ditetapkan para pemain
besar.
‘Coffee – Third Wave’ baru mulai, Gayo
masih memiliki kesempatan besar untuk masuk ke mainstream ‘roasted
coffee’ untuk menciptakan produk-produk kopi ‘Gelombang Ketiga’ yang
sekarang sedang perlahan tapi pasti mulai menjadi trend dunia.
Ciri lain dari peminum kopi ‘gelombang
ketiga’ ini adalah rasa ingin tahu yang besar terhadap daerah yang
memproduksi kopi yang mereka minum. Dan sekali lagi, ini adalah peluang
bagi Gayo untuk mengembangkan pariwisata.
Tapi seperti biasa, untuk mengembangkan
ini semua kita tentu sangat berharap pada peran swasta. Sebab pemerintah
Aceh dan DPRA sebagaimana kita ketahui, sekarang sedang sangat sibuk
dengan urusan maha penting soal Qanun Bendera dan Lambang, serta
membayar gaji Wali Nanggroe yang 100 juta rupiah per hari. Sehingga,
sebagai rakyat yang baik tentu saja kita harus memaklumi dan tidak bisa
mengharapkan mereka untuk memberikan perhatian pada hal remeh temeh yang
ada kaitannya dengan kesejahteraan masyarakat Gayo seperti ini.
Atas pertimbangan itu, penulis
mengucapkan selamat kepada UD. Ra’jat Gayo yang telah memulai produksi
kopi dengan ciri khas ‘gelombang ketiga’. Semoga langkah ini akan banyak
diikuti oleh pengusaha-pengusaha Gayo lainnya. Sehingga kita masyarakat
Kopi Gayo tidak lagi terlalu bergantung pada ekspor kopi sebagai
komoditas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar